Sebagai wartawan, mengetik ratusan kata ke lembaran digital dalam satu hari menjadi kegiatan yang normal. Tak pelak, rasanya jadi ingin sekali menjitak diriku di zaman kuliah yang kerap mengeluh-kesal pada tugas esai 1.000 kata dengan deadline seminggu.
Di media tempat saya bekerja, dalam sehari wartawannya ditargetkan untuk menulis lima berita untuk publikasi online. Bagi saya, rata-rata satu berita terdiri dari 4-8 paragraf. Untuk hari ini saja, saya sudah menulis tiga berita yang bila digabung akan menghasilkan angka 625 kata atau setara dua halaman margin normal di MS Word.
Proses menulis berita tidak berasal dari khayalan, namun dari data, fakta dan analisa yang saya lakukan ditambah penguat dari yang ahli. Artinya apa? Riset, riset, riset sampai mabuk sebelum menghubungi analis untuk membandingkan yang sudah saya temui dengan pendapat profesional mereka.
Kadang ada silap angka, silap kata, silap analisa dan akhirnya artikel bubar. Untung ada asisten redaktur yang baik (ada juga yang tidak :|) dan 2-3 artikel sukses dijahit menjadi satu publikasi layak cetak koran. Pulang kantor, otak ini sudah lelah dipakai, jadi saya akan memilih lari di treadmill gym atau baca komik sampai mengantuk.
Jadi apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan? Yah, mungkin seandainya bisa berbagi cerita dan merevisi silabus perkuliahan jurnalisme, saya ingin para dosen lebih kejam pada mahasiswanya. Kenapa? Karena dunia ini kejam duh.
Alkisah ada seorang dosen pada masa kuliah saya yang dicap super killer. Kelas beliau horor, penuh tekanan batin dan tidak jarang saya takut untuk masuk kelasnya. Paper yang mahasiswanya buat pasti akan dicerca (kecuali satu-dua jenius yang memang luar biasa pintar). Sumber referensi yang ia minta biasanya lebih dari dua buku dan sebaiknya dalam bahasa Inggris. Dua tahun bersamanya, nilai maksimal saya adalah B. Singkat kata, kelas dosen ini nightmare material 101.
Lepas kuliah dan masuk dunia kerja, rasanya saya ingin kowtow dihadapan dosen ini. Tantangan, beban dan tingkat stress yang saya alami di pekerjaan saya hanya secuil dari kelasnya. Rasanya saya jadi sangat bersyukur pernah mendapatkan kelasnya seraya bergumam, haha Tane, makan tuh karma.
Asal tahu saja, lepas kelas, dia adalah dosen yang menyenangkan. Berwawasan luas dan lols lucu. Tambah lagi, materi kuliah yang dia berikan sangat riweuh dan penuh konspirasi dunia yang bikin kepala pecah. And I love it. Saya jadi mengambil kesimpulan, nikmati saja, there’s always a silver lining.
Sekali lagi mari bertanya, apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan? Hehe nyinyir bentar yuk.
Kurang lebih setelah melewati fase kedewasaan ini, saya jadi merasa konyol dengan keluh kesah di zaman dulu (scroll sedikit ke paragraf pertama di atas). Setelah selesai merasa konyol, saya jadi penasaran dengan para mahasiswa abadi yang tidak kunjung kelar mengerjakan skripsi.
Alhamdullilah saya termasuk yang lulus cum laude alias, On Time, On Budget, With Good Records. Maka tidak jarang saya penasaran dengan teman-teman yang masih berkutat dengan buku tipis yang rasanya 50:30:20 terdiri dari teori : sadur analisa : meracau itu.
Cepat-cepatlah selesaikan skripsimu kawan, dunia yang lebih kejam menanti.
Tapi oops, rasanya posting ini hanya akan mengajak roda karma saya untuk berputar lagi. Setelah kemudi samsara saya berputar naik, mungkin sebentar lagi akan turun. Tapi tidak apa, toh hidup memang harus penuh gejolak.
~end
#wehgitudeh #disinisayacurcol