Tiga tahun terakhir ini saya menyelesaikan satu buku saja. Bisa dibilang ini adalah pencapaian yang akan membuat diri saya yang berumur 12 tahun akan bingung dan kecewa dengan rekor tersebut. Di umur itu, tiga buku bisa habis dalam satu minggu dan itu termasuk buku Harry Potter ke-tiga (favorit kala itu) dan beberapa novel 300-halaman oleh Enid Blyton.
Buku pemecah rekor ini adalah The Strange Library oleh Haruki Murakami yang saya baca sekali duduk di perpustakaan Japanese Foundation di Summitmas Tower II, Jakarta. Lokasi yang oke, atmosfer yang lebih oke dan buku yang sangat oke sekali. Tiga kombinasi yang saat saya selesai membaca buku ini dan melihat jejeran buku di rak perpustakaan membuat saya tersentak dan bertanya, kenapa saya berhenti membaca buku?
Pembaca post ini mungkin akan bertanya-tanya, apa tujuan tulisan saya hari ini. Apakah review novel Murakami atau curhat kenapa saya lama tidak menyentuh buku yang ‘benar’. Tapi mari kita menikmati saja dulu tulisan tidak ber-plot ini.. Better yet, let me try to incorporate the library story into my life, and that will be killing two birds with one stone.
Hidup saya, seperti halnya perpustakaan aneh di cerita Murakami, dimulai dengan seorang karakter pengecut. Seperti sang tokoh utama yang memiliki rasa penasaran besar terhadap sistem pajak Ottoman, atau dalam hal saya adalah fanfiction, kami ingin tahu mengenai hal-hal yang menarik tapi tidak penting.
Singkat cerita kami terjebak di sebuah sistem labirin yang tidak habis. Bagi tokoh utama di novel, ia dijebak untuk masuk labirin gelap dan penuh liku yang tersembunyi di bawah perpustakaan, sedangkan bagi saya, saya terjebak di dunia fanfic yang banyak judul, tags, tropes dan fandom yang ingin saya jelajahi.
Dalam novel, di labirin tersebut terdapat penjaga jahat yang membuat dia memilih untuk mengurung diri di penjara kecil yang nyaman dan suguhan donat hangat tiap sore. Terdapat manusia domba yang membuat hidup di penjara ini terasa tidak terlalu buruk. Namun seorang gadis cantik yang bisu yang datang dan pergi seperti hantu senantiasa mengingatkan bahwa, ‘kamu harus keluar dari sini.’
Akhir kisah, sang tokoh utama di novel berhasil melarikan diri dari labirin, namun dengan beberapa pengorbanan seperti sepasang sepatu bagus dan si gadis cantik bisu. Sedangkan saya menutup novel itu dengan perasaan kangen membaca cerita yang berstruktur, penuh jebakan dan tidak se-klise tropes fanfiction.
Apa outcomes dari novel ini? Banyak bunda, selain perasaan tidak enak dalam psikis yang merupakan efek umum sehabis membaca tulisan Murakami, juga terdapat sebuah keinginan besar untuk memperbaiki portofolio bacaan saya tahun ini dan mengisinya dengan buku-buku berkualitas. Ada juga keinginan untuk mengurangi intensitas baca fanfiction, karena saya jadi ingin kembali mengisi otak dengan cerita dan literatur yang berkualitas.
Memang apa salahnya fanfiction?
Yah prosa yang meminjam dunia yang sudah ada sebenarnya membuat pembaca fanfiction jadi malas untuk mengembangkan imajinasinya. Dunia yang dipinjam dari fanfiction sudah terbentuk di pikiran kita, familier dan dengan milestones dan canon stories yang kita harapkan. Unsur kebaruan-nya sudah terkikis dan perkembangan karakternya bisa ditebak. Apalagi kalau fanfic itu plek-ketiplek mengikuti sebuah tropes yang klise. Apalagi kalau kamu adalah pembaca fanfiction veteran ^_^;
Tapi di sisi lain rasa familier dalam fanfiction ini yang membuat saya ketagihan. Membaca fanfiction terasa ringan, santai dan tidak penuh ekspektasi seperti saat membaca novel. Comfort zone, itulah perasaan yang saya dapat saat membaca fanfiction.
Selain itu ada banyak fanfiction luar biasa bagus yang kualitasnya setara dengan novel-novel yang dikomersilkan. Alur cerita, perkembangan karakter dan worldbuilding yang gila dan membuat kita ketagihan dengan fanfiction tersebut. Dan yeah, itu gila dan hebatnya fanfiction legenda. Sudah gratis, bagus banget pula.
Rasanya disini kata komersil menjadi keywords penting dalam memberi nilai sebuah novel yang dijual di toko buku dibandingkan fanfiction gratisan. Tapi biarlah ini menjadi debat kapitalisasi produk yang tidak akan saya bahas di tulisan kali ini.
Anyway, menutup tulisan ini, saya jadi teringat pada tumpukan buku yang sudah saya baca setengah jalan, buku teman yang saya pinjam, dan buku yang masih dibungkus plastik dan mulai diselimuti debu. I should really start re-start my reading habit with these books first before buying new ones.
Akhir kata, membaca novel Murakami memang super berbahaya. Sosok Tsukuru Tazaki terasa seperti teman dekat yang di kala senja akan saya ingat sebagai salah satu sosok yang mengubah perspektif hidup. Dan kali ini, saya akan mencoba untuk keluar dari labirin trashy fanfic ajaib untuk mulai membaca buku dan novel yang berkualitas.
But I will certainly still read fanfiction, just a little bit less (fingers crossed and lol)
–
–
Aside from celebrating the first book I read after three years, this post also marks the first blog post I published after four years! Lots of thing happened during the past years; a broken heart, the pandemic, changing workplace twice, and a couple of mental health episodes, questioning my happiness. You know, the usual jazz.
I’d like to get back to writing more blog post, especially since I’m going to have a lot of free time once I start my master’s degree and resign from my job. So here’s a toast to a lot of writing time in the near future. Cheers!