I don’t need men to light up my cigar: Liberal Feminism

Feminisme merupakan sebuah debat yang bisa dibawa kedua arah. Yaitu self-respect and all encompassing respect perempuan, atau b!tch I wear what I want and nobody can stop me perempuan.

Memang rada naif untuk mengkategorisasikannya menjadi seperti ini, tapi pada dasarnya bila kita membedakannya berdasarkan feminisme Marxisme dan Liberal, yah memang seperti ini. Antara kebutuhan ekonomi melawan budaya independensi.

Feminisme Marxisme berasaskan pada ekonomi. Maka debat mengenai gaji, perbedaan strata berdasarkan pendapatan ekonomi, perlakuan perempuan dibidang house domestic akan lari ke paham ini. Perempuan diberlakukan dengan tidak adil dapat dilihat di film yang dibuat oleh UN ini: The Impossible Dream. Sebuah film dengan durasi 8 menit yang membuat saya merasa tertohok dan sempat merasakan amarah terhadap kaum laki-laki.

Beda lagi dengan Feminisme Liberal yang mengedepankan egaliter dan persamaan hak. Bila laki-laki dapat berjalan-jalan dengan hanya celana pendek dan tidak di grepe-grepe, maka perempuan juga memiliki hak yang sama. Debat mengenai Rape Culture akan condong ke Feminisme Liberal. Liberal juga bergerak di bidang anti-stereotipe dimana pleaseeee jangan samakan perempuan zaman dulu dengan zaman sekarang, dan tolong! Hormati kami karena pilihan yang kami ambil, dan bukan karena subjugasi lingkungan dan environment yang menempatkan perempuan sebagai subordinat!

What about me? Jujur saya tidak mengidentifikasi diri saya sebagai seorang feminisme, namun saya memiliki concern terhadapnya. Bila saya harus menjelaskan basis concern saya, maka saya akan memilih Feminisme Liberal.

Liberal, egaliter dan persamaan hak. Itu adalah tiga keyword yang saya asosiasikan dengan Independensi, “I don’t need a man to light up my cigar.”

Kenapa tidak marxisme? Karena jujur saja Indonesia dalam ranah persamaan hak dalam ekonomi antara perempuan dan laki-laki sudah sangat luar biasa. Tidak ada lagi perbedaan gaji karena lu cowok dan gua cewek. Malah sekarang kebanyakan bos-bos CEO adalah perempuan. Menurut saya, yang harus kita perjuangkan dalam ranah ini adalah mengenai cuti hamil yang mepet due date, buruh perempuan di pabrik-pabrik dengan gaji dan akomodasi minim, dan semacamnya (oke, itu dua contoh yang rada esktrem polar banget, tapi I hope you get what I’m trying to say).

Liberal adalah pandangan dimana apa yang kita lakukan tidak harus didefinisikan oleh laki-laki, menolak stereotipe perempuan! Salah satu bentuk liberalisme yang paling klasik adalah perempuan rambut pendek yang menolak stereotipe damsell in distress ala Rapunzel. Karena itu film Tangled oleh Disney memiliki sebuah ranah yang lebih dalam daripada teenage rebellion and coming of age theme semata.

.

.

(bagian ini saya ambil dari komentar yang saya tulis di blog teman saya, kalau penasaran silahkan cek di Paradoks Pemberdayaan Perempuan oleh Fauzia Firdanisa)

IMO, kenapa Indonesia sangat jauh dalam usaha pemberdayaan perempuan adalah:

1. efek media barat yang terlalu kuat, dimana sensuality is a form of liberation
2. lemahnya budaya Indonesia (but then again, apa itu budaya Indonesia?)
3. pemerintahan (dan media) yang lemah filter

Kalau kita bicara budaya, jelas kita sebagai negara berkembang yang terus menerus didera tayangan internasional akan mati kutu. Gaya berpakaian, gaya bicara, pola pikir kita semuanya makin didefinisikan oleh barat (terutama Amerika). Hal ini terjadi karena ekspos kita terhadap barat yang sudah luar biasa banyak.
Pemikiran bahwa feminisme adalah usaha memperjuangkan seksualitas dan sensualitas memang selalu kontroversial. Di sisi lain memang sangat memalukan dan mendegradasikan ketika melihat Miley Cyrus twerking tanpa rasa malu. Namun di sisi lain kita harus mengakui bahwa memang begitulah Amerika.

Amerika memang dikenal sebagai negara yang rela mendobrak berbagai batas-batas norma. Bila seks adalah sebuah komoditas yang dapat dijual, maka munculah industri film porno. Dan lihat saja industri Playboy basis nya dimana.

What I’m trying to say is, semuanya adalah relatif. Feminisme barat dan feminisme Asia dan Indonesia jelas sangat berbeda. Menurut saya, agak kurang tepat untuk berusaha menyamaratakan asas perempuan kita dengan Amerika. Karena kita berbeda.banget.

Misal, bagi budaya barat, ketentuan wanita untuk berhijab-burqa lengkap dengan warna gelap, tidak boleh keluar rumah, tidak boleh mengendarai kendaraan, tidak boleh ini itu dan itu ini merupakan sebuah bentuk pengekangan yang luar biasa. Namun menurut budaya Afganistan, itu adalah hal yang sah, normal dan diwajibkan. Amerika dan Afganistan bisa berdebat sampai listrik di dunia habis tentang feminisme, hak asasi manusia dan ketentuan agama..

Di Indonesia, fenomena hijabers bisa dibilang sebagai sebuah gebrakan feminisme Islam-Indonesia yang wow banget. Para hijabers dapat mengekspresikan diri mereka sebagai seorang muslim dan fashionista dengan berbagai gaya kerudung yang warna-warni.
Is it right?
haha warna terang, kerudung gaya punuk unta, celana jeans ketat dan tas ZARA jelas tidak ada di Al-Quran. Tapi apakah mereka ‘selamat’ karena mereka menggunakan kerudung? It’s all relative, tergantung kita bicara dengan siapa..
Bagi sebagian orang ini adalah feminisme, cewek-islam-berani, bagi yang lain ini adalah bentuk komodifikasi merk-merk fashion islam yang makin tidak syari’i.

Jangan samakan kita dengan Amerika, bila tren Amerika adalah bikini beige dan nari-nari striptease di panggung internasional adalah bagian dari hidup mereka, so what? Kita juga punya budaya dangdut dengan pakaian lateks super ketat dan goyang ngebor. Bukan berarti kita mengikuti mereka, tapi antara memang sudah ada dari dulu, atau kita memang harus mengikuti kejaran industri. Welcome to the business world, where sex is an item you can buy in half price.

.

Point is, ranah ekonomi dan pemberdayaan wanita harus lebih kita cekoki daripada perbedaan pandangan karena budaya perempuan barat dan perempuan Indonesia. Kita bisa saja berdebat hingga matahari tenggelam tentang relevansi bikini dan independensi dan makin merebaknya tayangan R rated di tv-tv Indonesia. Namun para buruh pekerja yang menjahitkan celana dalam merk GAP dengan harga $30 per itemnya (yang dikerjakan dengan gaji 30 sen per jam) tetap tidak akan terurusi.

Meanwhile..

Oh wow…. Semua ini bisa diargumentasikan dengan alasan minimnya kesempatan perempuan akan edukasi pada zaman dulu. YANG NGGA RELEVAN BANGET SAMA ZAMAN SEKARANG. Stereotipe seperti inilah yang seharusnya kita lawan….

Epic Bromance with my big bro

You tell me that you’ve got everything you want
And your bird can sing
But you don’t get me, you don’t get me

And Your Bird Can Sing – The Beatles

Malam Jumat, tidak ada kerjaan dan aku bersama kakakku iseng membaca-baca buku lama dari zaman kita masih kecil. Buku pertama adalah Spring Miscellany oleh Natsume Soseki, dan satunya lagi adalah 360 Stories and Rhymes for Boys.

It’s totally random, we know it, so why not?

Selepas membaca buku Natsume secara selintas, maka tidak heran bila pemikiran kami mendadak rada filosofis. Selama beberapa lamanya kami membicarakan mengenai haiku Natsume dan berusaha menganalisa (cieee… Istilahnya :p) apa arti haiku tersebut

“Take a stone for your pillow and the current to rinse your mouth”


Menurutku itu mengenai bagaimana seseorang bisa mengambil keputusan untuk hidup sederhana, sedangkan menurut kakak mengenai kebebasan seseorang dalam memilih jalan hidupnya. Entah artinya apa, namun pada akhirnya kami menutup buku dengan penuh metafisika dalam otak.

Selagi membuka-buka buku kedua, secara tidak sengaja kami menemukan dua puisi ini,

Alone
From childhood’s hour I have not been
As others were; I have not seen
As others saw; I could not bring
My passions from a common spring.
From the same source I have not taken
My sorrow; I could not awaken
My heart to joy at the same tone;
And all I loved, I loved alone.
Then- in my childhood, in the dawn
Of a most stormy life- was drawn
From every depth of good and ill
The mystery which binds me still:
From the torrent, or the fountain,
From the red cliff of the mountain,
From the sun that round me rolled
In its autumn tint of gold,
From the lightning in the sky
As it passed me flying by,
From the thunder and the storm,
And the cloud that took the form
(When the rest of Heaven was blue)
Of a demon in my view.
Edgar Allan Poe

On Oath
As I went to Bonner,
I met a pig
without a wig.
Upon my word and honour.

Apa coba artinya?

For me,

Alone by Edgar Allan Poe depicts a story of a man, who was so lonesome ever since childhood that he lost his sense of morality. The reason for his loneliness was his inability to socialize and ‘be normal’ like the other kids, which resulted in his confusion to see what’s right and what’s wrong. Later he associated his oddness to the works of God whom he associated as the demon. Because why did god made him so different and thus so alone?

Bagiku,

Alone karya Edgar Allan Poe bercerita mengenai seorang pria, yang sangat kesepian sejak masa kecil dan menyebabkannya kehilangan ambang moralitas. Penyebab dari rasa kesepiannya ini karena Ia tidak mampu melihat, merasa dan berlaku seperti anak normal lainnya, hal ini menyebabkan Ia tidak dapat membedakan mana yang benar dan salah. Di kemudian hari, Ia mengasosiasikan perbedaan yang ada dalam dirinya sebagai pemberian Tuhan, yang kemudian Ia anggap sebagai sang iblis. Karena kenapa Tuhan menciptakannya begitu berbeda sehingga Ia merasa begitu kesepian?

On Oath lebih mudah untuk di ceritakan. Kata kuncinya ada di Bonner dan pig with out a wig. ‘Bonner’ as in a hard on, which could mean a brothel. And ‘pig without a wig’ as a politician playing truant. So…. There’s a man who went to the brothel and saw a supposedly esteemed politician playing hanky panky in that place. Upon his word and honor he swear.
.
.
.
Idk, itulah hasilnya bila sepasang jomblo tidak ada kerjaan dan memilih untuk menganalisa buku-buku masa kecil. It’s not that bad…

So, Happy Thursday night everybody!!

Kekonyolan Hari Ini

Hapeku koit.
Tagihan Halo-nya belum dibayar dan baterai mulai soak, karena malas berhubungan dengan SMS yang akan berstatus nggantung, jadi sudah 4 hari hapenya mati. Walhasil semua reminder dan catatan di kalender ku ikut mlipir ke lembah ketidaktahuan. Diantaranya adalah reminder ujian….
(Di depan ruang kelas ujian)
Fenita: ne, sudah selesaikan resensi EPBmu?
Me: masih gelap sih, aku agak bingung gimana resensi nya.
Fenita: yah gitu deh, dosennya bikin bingung juga sih.
Me: *ketawa* iya ngga jelas, yah ngga apa juga sih, mudah juga kok tugasnya.
Fenita: iya sih, nanti nih mau kukumpulin.
Me: *terdiam………………. Pasang poker face* oh oke, nanti kamu kumpulin jam berapa?
Fenita: jam 2 kan maksimalnya?
Me: sip!!!

Tau ngga tau ngga tau ngga, sebenarnya aku ngga tau ujian EPB (editorial dan penyuntingan berita) itu hari ini!!!! Kukira hari Jumat, dan walaupun teh tugas udah selesai dari zaman dulu, tetap saja belum ku print… Untung ketemu Fenita *FIUHHH!!!!*. Gila, beneran ceroboh tingkat tinggi deh…
.
.