20 Mei adalah Hari Kebangkitan Nasional. Peringatan pada hari tersebut merupakan napak tilas momentum sejarah pergerakkan anak muda Indonesia pada era kolonial Belanda. Pada hari tersebut tahun 1908, didirkan sebuah organisasi pemuda bernama Boedi Oetomo. Organisasi ini terdiri dari mahasiswa, aktivis, wartawan dan berbagai tokoh-tokoh yang mempelopori asas perjuangan nasional. Yang muda, yang hebat, dan yang menggetarkan dunia.
Maju 108 tahun setelah organisasi Boedi Oetomo didirikan, tepat pada 20 Mei 2016, aku berdiri di persimpangan Patung Arjuna Wijaya, atau yang sekarang lebih populer dikenal sebagai Patung Kuda Indosat, meliput longmarch Aliansi BEM se-Indonesia yang mengkritik program Nawacita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Respon pertama saat dapat penugasan: gila aja.
Respon kedua saat di lokasi: gila, mereka hebat.
–

Longmarch dimulai dengan mengumpulkan mahasiswa anggota BEM dari berbagai daerah Indonesia. Ada yang dari Malang, Bali, Jambi, Jakarta dan Bandung. Koordinator utama adalah anggota BEM Universitas Jakarta selaku pusat sekaligus ’empu yang punya area’. Aku tidak sempat mengkonfirmasi, namun prakiraan peserta longmarch ini sekitar 500 an orang.
Mereka berkumpul di area Patung Arjuna Wijaya, menunggu kawan-kawan lain sambil berorasi mengenai tujuan demonstrasi mereka. Mereka menuntut pengawalan Nawacita dan meminta keterbukaan informasi dan akses pada pemerintah. Mereka juga ingin bertemu langsung dengan Presiden maupun Wakil Presiden agar dapat memberikan aspirasi secara langsung.
Salah satu isi orasi adalah, “Kenapa susah sekali bertemu dengan Presiden! Kita harus membuat janji satu bulan sebelumnya, memang Presiden kerja apa saja!!”
Which is, hello. Mungkin mereka tidak tahu, tapi Presiden Joko Widodo sedang dalam rangkaian kunjungan internasional, dan saat ini menghadiri Plenary Session ASEAN di Russia. Sedangkan Jusuf Kalla bolak-balik buka seminar ekonomi dan gonjang-ganjing partai Golkar. But oh well, you know, symbolic speech.
Satu persatu mahasiswa bertambah, hingga puncaknya adalah kedatangan rombongan mahasiswa Institut Teknologi Bandung dengan mobil pickup yang sudah dimodifikasi menjadi panggung berjalan lengkap dengan speaker dan mic.
Teringat cerita seorang sahabat dari ITB, “iya, mahasiswa ITB yang kiri mah emang gitu anaknya, aktivisnya mantap.”
–
Panas, lelah dan pengap.
Matahari berada di zenith tertinggi, keringat membasahi punggungku, namun koordinator liputan menugaskan diriku mengikuti longmarch ini hingga tujuan akhir, Istana Negara.
Tiba di area Istana, mereka melanjutkan orasi pendek sebelum mematahkan formasi untuk bersiap-siap solat Jumat. Solat akan diadakan di lapangan kecil batas area penyampaian pendapat Istana Negara. Tak ada moda pelindung dari terik matahari, aspal panas menjejak kaki, namun mereka berkomitmen untuk solat di ‘batas area penyampaian pendapat di muka umum’.
Terharu melihatnya.
Spanduk protes berubah menjadi sajadah, koran dan jaket almamater ditebarkan untuk kawan di belakang yang tak kebagian. Wudhu menggunakan mobil tangki air yang memang sudah disiapkan untuk kegiatan solat Jumat di area Monas.
Beberapa turis asing melintas, aku hanya bisa membayangkan kebingungan mereka melihat massa anak-anak muda yang sedang bersujud di tengah lapangan yang membara panas.
Aku sengaja tidak mengambil gambar, imaji seperti ini rasanya hanya untuk dilihat langsung.
–
Jujur aku merasa malu saat berdiri di tengah kerumunan ini. Hanya 3 bulan yang lalu aku masih mahasiswa seperti mereka. Namun tidak pernah sekalipun turun ke jalanan dan ikut berdemo hingga seperti ini.
Oke memang sempat ada beberapa kejadian yang rada ‘kiri’ namun tidak sampai seperti ini. Mereka terlihat konyol, melelahkan, tidak masuk akal, ‘euforia muda’, namun kenyataan bahwa mereka menyempatkan diri untuk melakukan hal ini, menurutku sangat hebat.
Banyak yang mencemoh kegiatan seperti ini. “Sudah tidak zamannya,” “Mending berkarya hebat demi bangsa,” “Panas banget kayak gituan, ngapain sih?” “Bikin macet!!”
Setelah melihat demonstrasi secara langsung, aku merasa pernyataan-pernyataan ini sangat munafik. Diam dalam nyaman sambil berharap yang lain saja yang beraksi, pengecutkah kita? Mencemoh mereka yang berusaha, tinggi hati kah kita? Mengkerdilkan usaha mereka, jahatkah kita?
–
Ego mahasiswa memang tinggi. Namun dengan polesan dan edukasi yang tepat, tak hanya ego, namun menjadi idealisme.
Aku rasa itu yang hilang dari kampus almamaterku Univeritas Atma Jaya Yogyakarta. BEM pada eraku lempeng, atmosfer dosen tidak berkomitmen pada pergolakan politik, studi kita melulu pada gender, LGBTQ dan toleransi agama.
Memang tidak salah, hebat sekali malah, saya senang memiliki pengalaman sebagai minoritas di kampus dan bersinggungan langsung dengan fakta intoleransi. Sangat membuka mata pada kesenjangan sosial, budaya, agama dan rasial. Namun sebagai lulusan Fakultas Sosial dan Politik, kita kalah dari retorika kepentingan dan kekuasaan.
Entahlah, namun aku berharap mahasiswa akan terus menghasilkan demonstrasi. Protes ada karena ketidakpuasan, dan sebagai manusia kita seharusnya jangan pernah puas dengan keadaan stagnan. Suatu hari mahasiswa ini akan menjadi kita, masuk ke angkatan kerja dan waktu mereka akan habis untuk rutinitas. Namun tak bisakah kita menjadi mereka?Bila memiliki kesempatan, ikutlah kegiatan sosial-politik. Jangan anti pada politik, jangan menjauhkan diri dari sinetron DPR/MPR/Partai Politik. Sedikit tahu, sedikit mencari tahu, sedikit berkomentar kesana-sini, tanda-tangani petisi, dukung demonstrasi, baca spanduk-spanduk mereka.
Akhir kata, kepada mahasiswa dan alumni, selamat Hari Kebangkitan Nasional. Posting memang telat sehari, namun semangat dan rasa di hati seharusnya tidak pernah padam.
Demonstrasi asal bener dan tertib pasti didukung ya
wah sepertinya jadi mahasiswa menarik juga… penuh semangat yang membara… bravo…