Oke Bali. Sebenarnya rencana untuk mem-posting satu ini sudah sejak lama, namun baru sekarang ada kesempatan untuk menulisnya..
.
Allo!
Perjalanan menuju Bali ini sebenarnya disarankan oleh seorang sahabatku bernama Lisa. Sebelumnya ia magang di Bali Daily, subsidiary company The Jakarta Post, sebuah suplemen koran yang bergerak di berita lifestyle, entertainment dan travelling.
Posisiku yang memasuki semester 7 ini mengharuskanku untuk mengambil KKL (magang), dan berhubung magang ku di TJP dimulai bulan Oktober, otomatis saya tidak bisa mengambil mata kuliah apapun karena resiko bolos panjang selama masa UAS. Lisapun menyarankan, daripada tidak ada kerjaan, cobalah ke sini.
Maka dengan restu, izin, dan bantuan ekonomi orang tua dan uang tabungan berangkatlah diriku menuju Denpasar, Bali. Arriving in Bali, dramas and stories of day one living with myself.

Drama di hari pertama
Jauh sebelum hari keberangkatan, saya sudah menghubungi tempat kos yang direkomendasikan oleh teman. Sang pemilik kos mengatakan ‘silahkan bukk, datang saja langsung. Nanti pasti ada kok’. Berbekal pernyataan itu, saya merasa santai dan nyaman-nyaman saja.
Tepat di hari keberangkatan, sebelum memasuki bandara, saya sempatkan meng-SMS pemilik kos dengan niat sekadar mengingatkan beliau bahwa saya akan tiba di Bali siang ini. Hape kemudian saya matikan dan terbanglah meninggalkan tanah Jawa. Waktu itu tiket Jogja-Denpasar sebesar Rp 573k, beli di Turindo.
Tiba di Denpasar, saya buka handphone dan ternyata ada beberapa SMS panik dari sang pemilik kos.
Bu maaf sekali, aku tuh udah ngga ngurus kos nya lagi.
Pas aku cek ke sananya, ternyata sudah penuh..
‘Mati gue,’ batinku.
Panik, iyalah panik. Saya telpon, tidak diangkat, sms tidak di balas. Mau bagaimanaaaaa. Akhirnya nekat, langsung saja cari taksi dan minta diantar ke lokasi kos. Taksinya mahal, selagi negosiasi harga pasang wajah ala poker face I’m-so-not-impressed-with-your-price padahal hati sudah kebirit-birit.
Tengah jalan, sms akhirnya dibalas. Si mantan-pemilik-kos-yang-ngaku-ngaku ini meminta maaf. Maka dengan bahasa EYD tanpa singkatan (tanda kalau saya lagi kesal via sms) saya meminta menyempatkan bertemu dengan si bapak. Tidak di balas..
Tiba di lokasi kos, bingung, ndembik, panas dan mulai aaa-iii-uuuu tidak bisa berpikir. Dengan bantuan google, saya sempatkan mencari alamat-alamat kos di daerah tersebut, dan dengan tekad baja (dan koper seberat 15 kg) saya geret itu barang ke jalanan. Tiba-tiba,
“Gek!!”
Saya dipanggil seorang laki-laki yang naik motor. Ia kemudian bertanya apakah saya berasal dari Jogja, ketika saya mengiyakan, ia menjelaskan bahwa ia adalah penjaga kos yang awalnya saya incar. Ia diminta oleh sang Boss untuk menemani saya mencari kos.
Oh ya Tuhan, bersyukur banget akan adanya keajaiban dalam bentuk bli yang satu ini. Bersamanya, kami berputar-putar mencari tempat kos.
Sepanjang perjalanan kami ngobrol banyak soal hidup di Bali, standarlah mengenai makan dimana, jalan kemana, transportasi dimana. Hingga akhirnya kami menemukan sebuah rumah kos yang baik dan sayapun memutuskan untuk nge-kos di tempat itu.
Mahal sih, Rp 1.25kk dapat kamar mandi dalam, kasur, bantal dan spresi bersih, kipas, tempat cuci piring dan porch belakang untuk jemur-jemur. Tapi mengingat lokasi sangat dekat dengan kantor, yaitu 5 menit jalan, dan sangat dekat dengan supermarket dan jalur bemo, ya tidak apalah.. Selain itu, ibu kosnya sangat baik dan impression yang ia berikan sangat bersahabat..
Selesai membereskan kamar, saya sempatkan ke kantor untuk sekadar check in. Kembali ke kos dalam keadaan capek dan tanpa macam-macam langsung tidur pulas.
*Gek adalah panggilan untuk perempuan di bali, sedang bli untuk laki-laki.
Survival instinct in Bali
Bali itu menurut pandangan banyak orang adalah mahal. Dan memang ada benarnya, kos yang saya ambil terhitung mahal. Namun kalau soal makan dan transportasi, Denpasar ini tidak jauh beda dengan Jogjakartalah. Bus Sarbagita seharga Rp 3.5k kemanapun, dan bemo gratis.
About food, Beruntungnya antara kos dan kantor terdapat jajaran warung yang berjualan makanan halal, harga yang mereka pasang juga tidak jauh beda dari normal harga makanan di Jogja. Rp 11k sudah makan puas nasi, sayur, perkedel, ayam dan es teh. Asal jangan beli teh botol saja karena satunya dihargai 4 ribu (pengalaman scam harga makan di hari kedua).
Transportation, Bali diberkati dengan sistem transportasi yang cukup hebat. Bila ingin eksplorasi Bali, coba pelajari Trayek Pengumpan bemo, trayek Bis Sarbagita dan cross check dengan Google Maps. Bemo di Bali gratis dan Bis dihargai Rp 3.5k. Jangan tanya angkot tapi bemo.
Di sisi lain, kebanyakan masyarakat Bali menggunakan motor untuk pergi kemana-mana, bemo relatif sepi dan menunggunya bisa 10 menit lebih. Karena itu sempatkanlah mengobrol dengan sang supir, mereka orang-orang yang hebat dengan hati emas. Lumayanlah agar tahu jalan, tahu lokasi dan dapat teman mengobrol selama perjalanan.
Tourism, mengenai turisme, Bali memang jagonya. Pantainya cantik sekali, diurus dengan telaten dan memasuki area pantai tidak dipungut biaya. Di hari kedua saya sempatkan jalan pagi ke Pantai Sindhu, dan di sana terdapat banyak anak-anak SMP yang sedang berolahraga. Beruntungnya mereka bisa menikmati indahnya pantai ini setiap hari..
Karena Bali adalah lokasi wisata, orang-orang lokal di sini sangat ramah dan talkative. Senyum sedikit dan mereka ikut sumringah. Saya banyak mengobrol dengan masyarakat selama perjalanan di bemo, dari mereka juga saya banyak tahu mengenai upacara adat dan kebiasaan lokal di sini.
Social Life, yang perlu diperhatikan sebagai warga Islam yang lama tinggal di Jawa, di Bali adat agama Hindu sangat kental. Bau dupa, sesajen di jalanan dan pure di setiap belokan, rumah dan sudut kota adalah hal yang normal.
Janganlah takut dengan hal-hal seperti itu, beruntungnya karena saya memang tidak takut dengan horor mistis, ya biasa saja bawaannya. Beberapa teman di grup WA sempat mengkhawatirkan mengenai hal ini, tapi kita anggap saja ini sebagai keberagaman hidup di Indonesia.

.
That’s it untuk saat ini.
.T
kangen tinggal di bali lagi… pernah tinggal di kuta selama dua tahun, dan rasanya masih kurang 😀 semoga ada jodoh dengan bali lagi 🙂
iya nih, hidup di bali itu ada pesonanya sendiri. Sangat menyenangkan dan semoga ada jodoh ke sana lagi 😀