Tiga Batang Rokok
dua jam kita mengobrol, tiga batang rokok habis dan empat mata saling mencuri pandang
Rokok di bibirmu berwarna hitam, begitu pula dengan bibirmu yang sudah intim menghisap batang racun tersebut. Aku membencinya, tiap asap kelabu yang terhembus dari mulutmu membuat dahiku mengernyit. Tidakkah kau tahu aku ingin sekali mencabutnya, menginjakknya dan mematikan sisa bara api dengan jemariku?
Namun tetap saja, tiap kau berada di dekatku, aku berusaha mencari bau asap rokok yang bercampur dengan khas aroma parfummu. Aku sayang, benci dan merasa adiktif dengan bau ini.
Kita mengobrol panjang, lebar tidak karuan dan tak berdasarkan. Dari jatuhnya rezim Uni Soviet hingga metafisika filsafatis proses, dari teori Feminism dan Masculinity hingga film Java Heat yang baru-baru ini kita tonton. Tanganmu mengepal dan memegang erat jeruji tangga tempat kita mengobrol, tanganku terlipat memeluk diri, takut bila tangan ini melintas dan menyentuhmu.
Satu, dua, tiga. Mantra pendek yang kubisikkan sambil menunggu jeda sebelum kau memberi jawaban atas pertanyaanku. Semuanya kau tanggapi, semuanya memiliki jawaban, dan kagumku pada jawabanmu yang kadang ngalor-ngidul ini yang membuatku terpesona denganmu.
Tiga, dua, satu. Mantra pendek yang kuhitung saat perhatianmu teralihkan oleh pesan singkat dari handphone mu. Kamu tersenyum saat menjetikkan bara terakhir dari batang rokokmu sebelum membuangnya ke tanah dan menginjakknya.
Dua jam kita mengobrol, tiga batang rokok habis dan empat mata saling mencuri pandang.
Aku memiliki urusanku sendiri, dan kaupun pasti memiliki kesibukkanmu sendiri. Kita berpisah dengan sapaan hangat dan kibasan tangan. Kakiku melangkah menuju pintu keluar dan aku segera merindukan aroma asapmu.
——————————————–
:”)
😀